MALAM TAHUN BARU
Raia.
Suara klakson kendaraan terdengar
memenuhi ruas jalan malam ini. Pun klakson mobil ku yang berulang-ulang
dibunyikan oleh supir. Sejak keluar dari tol Jagorawi beberapa menit yang lalu,
keadaan jalan begitu padat. Bahkan untuk sekedar berbelok ke kanan di depan
patung rusa yang menyala-nyala pun, aku harus menghabiskan waktu sepuluh menit.
“Bisa
lebih cepat nggak Pak?” kata ku begitu jam digital
di dalam mobil menunjukkan pukul sembilan lewat lima puluh lima menit.
“Mana
bisa Mbak. Jalanan penuh sekali.”
Iya juga, batin ku. Tidak mungkin
keadaan macet total seperti ini bisa dilalui begitu saja. Dari balik kaca
mobil, kilau lampu-lampu dari bagunan kota Bogor menyala terang benderang
seperti bintang di langit yang gelap. Kota ini memang pantas disebut sebagai
penyanggah Ibu Kota. Apa lagi melihat padatnya jalanan. Bogor bukan lagi kota
sejuk nyaman layaknya bunga di tengah-tengah taman hijau seperti dulu.
Aku menarik tas ku dan menggenggam iPhone yang sejak tadi berdering tiada
henti. Di atas stiletto hitam, aku
terus melangkah bahkan sebelum mobil terparkir di tempatnya. Ku biarkan supir
ku mencari parkiran seorang diri. Yang terpenting, aku bisa tiba di Starbucks
sebelum terlambat.
Dengan rambut hitam yang tergerai
menutupi bahu, blazer hitam yang
membalut tank top merah muda, aku
mempercepat langkah ku. Berlari kecil meski banyak sisa air hujan yang
tergenang di sekitar jalan menuju kafe dalam mall itu. Dan pintu kaca pun
terbuka. Aku masuk mengambil arah ke kanan dan menatap ke sekeliling sudut
Starbucks. Mencari sosok yang sejak tadi tak bosan-bosan menghubungi ku. Di
mana dia? Di mana Rio?
Nomor telephone-nya ku hubungi kembali. Tetapi tidak diangkat. Sekali
lagi ku hubungi, tetap tidak diangkat. Aku memutuskan untuk mengambil tempat
duduk di sudut kafe. Memesan secangkir coffee
late kesukaan ku,”Makasih Mas,” begitu kata yang keluar setelah pesanan ku
tiba di atas meja dengan uap yang menggiyurkan rasa. Segera ku cecap kopi itu.
Ku biarkan hangatnya menjalar di setiap likuk tubuh ku. Setidaknya, sedikit
menghapus lelah bekas terburu-buru barusan.
Di samping ku, ada mereka yang duduk dengan cerita.
Ada mereka yang melingkar membagi kisah dengan gelak tawa. Dan ada mereka yang
melempar senyum sebagai tanda indahnya kehidupan yang mereka miliki hingga
detik ini. Tapi aku, hanya bisa memerhatikan mereka diam-diam. Mencuri pandangan
dari gelas kopi ku dalam tunggu.
Aku menyeruput lagi kopi hangat yang
ku pesan. Sebenarnya, sudah bukan kopi hangat lagi namanya tapi berganti menjadi
kopi dingin, karena suhu hangatnya telah menguap. Rasanya nikmat. Pahit dan
menggigit di lidah.
Kalau hanya membatasi pikiran pada kebahagiaan yang ku saksikan
malam ini di kafe, rasanya hidup terlihat begitu sederhana. Simple tanpa kerumitan yang terkadang
menyiksa. Tetapi nyatanya tidak sesederhana itu. Aku bahkan harus menghabiskan
banyak waktu untuk kehidupan yang lebih baik, bahkan merelakan rasa takut ku
setiap kali memulai pekerjaan. Aku adalah seorang pramugari dari salah satu
penerbangan ternama di Indonesia. Bersamaan dengan itu, aku adalah seseorang
yang takut akan ketinggian. Dan bisa dibayangkan, bagaimana awalnya aku
melakukan pekerjaan ku di dalam pesawat ketika ketakutan itu merasuki tubuh dan
merenggut kepercayaan diri ku. Ada perjuangan yang harus dilakukan. Karena
memang begitu seharusnya hidup dijalani. Setidaknya, itu kata-kata yang ku
ingat ketika kekasih ku mendukung penerbangan pertama ku tempo dulu.
Ah...aku sampai lupa menghubunginya lagi.
“Hallo,” kata ku begitu nada tunggu berhenti digantikan suara bass-nya yang terdengar berwibawa,”Aku
udah sampai. Kamu di mana?”
“Iya, aku tunggu...”
Dan beginilah jadinya. Aku duduk bersama secangkir kopi yang
hampir habis untuk menanti kedatangan kekasih ku yang sudah satu bulan tak ku
temui. Maklum, jadwal penerbangan yang harus ku jalani begitu padat dari satu
kota ke kota lain. Hingga tak ada waktu libur yang ku dapatkan selain malam
tahun baru kali ini.
Sejujurnya, aku sangat lelah setelah menjadi cabin crew penerbangan dari Bali ke Jakarta pagi-pagi tadi. Ini
karena banyak penumpang yang ingin di-service
lebih dari biasanya. Apa lagi, keadaan cuaca buruk di akhir tahun membuat
penumpang resah. Jadi aku harus menenangkan mereka sebisa mungkin hingga
pesawat landing di Soekarno-Hatta. Kedua betis ku pun sangat pegal. Berdenyut
saking lamanya aku berdiri di atas sepatu tinggi ini. Tapi tak apa. Demi
bertemu dengan kekasih, harus ada pengorbanan yang dilakukan.
Keadaan di luar mall ini begitu ramai. Banyak orang lalu-lalang.
Rupanya, satu setengah jam lagi menuju pergantian tahun. Itu artinya, aku sudah
menunggu selama satu jam. Mengapa dia tak kunjung datang? Percis ketika aku
bertanya-tanya seorang diri, ponsel ku berdering. Ia mengirimkan pesan singkat
yang meminta ku untuk keluar dari Starbucks dalam mall besar di tengah kota
Bogor ini dan segera mengambil tempat di restoran cepat saji yang berada di
seberang mall. Aku mengikuti maunya. Menaiki jembatan penyebrangan dan berhenti
untuk sekejap menyaksikan bagaimana sekeliling Tugu Kujang mulai dipadati oleh
orang-orang pembawa terompet dan kembang api. Beberapa baru tiba bersama
rombongan motornya yang dihias menarik. Ada juga yang sepanjang jalan meniupkan
terompetnya dengan nyaring. Begitu ramai membangkitkan semangat memasuki tahun
yang baru. Aku kembali melangkah. Masuk ke dalam restoran dua puluh empat jam
itu dan duduk memerhatikan sekitar. Ternyata, tidak kalah bahagianya dengan
orang-orang di Starbucks. Semua manusia rupanya sedang begitu bahagia menyambut
tahun baru. Hanya aku kah mahluk yang kehilangan semangat malam ini?
Lima belas menit, ia tak juga datang. Aku semakin bingung dengan
janjinya. Sedikit merasa ragu bahwa ia akan datang malam ini. Bahkan ketika
nomornya tak aktif lagi saat ku hubungi.
“Raia!” tiba-tiba seseorang melambai dari arah pintu masuk. Wanita
itu tersenyum menghampiri ku dengan fried
fries di dalam plastik,”Baru aja ketemu di pesawat tadi pagi, sekarang kita
ketemu lagi di Bogor.”
“Iya ya Jen?!” aku sendiri tidak percaya dengan kebetulan ini,”Mau
rayain tahun baru di Bogor?”
“Iya. Kebetulan, ada janji di sini. Jadi sekalian aja, malam ini lihat kembang api
kota Bogor hehehe... Kamu cuma sendiri?”
“Enggak. Aku lagi nunggu seseorang.”
“Oh gitu. Ya udah, aku keluar dulu ya Raia. Bye!”
Aku mengangguk-angguk sebagai tanda iya atas ucapan Jeni-teman SMA
ku itu. Ia tak lama berada bersama ku. Hanya untuk sekedar menyapa, basa-basi,
kemudian pergi. Ia keluar dari restoran ini. Dan aku kembali sendiri.
Kekasih ku tak kunjung datang. Aku
bosan menunggunya. Lelah bergelayut di pundak. Bahkan makanan junk food ini sudah habis untuk yang
kedua kalinya. Kalau saja bukan Rio yang sedang ku nanti, aku pasti sudah
meninggalkan tempat ini sejak tadi. Lebih baik pulang dari pada menghabiskan
waktu untuk sesuatu yang tidak jelas keberadaannya. Kapan Rio akan datang
memenuhi janjinya? Bukan kah ia yang berjanji mengajak ku untuk menghabiskan
malam tahun baru bersama di Bogor? Ke mana perginya dia?
“Kamu di mana?” tanya ku sekali lagi
to the point.
“Aku udah setengah jam di sini. Kamu
sebenarnya di mana sih?”
Klik. Telephone diputus dari seberang.
Aku melihat kekasih ku itu di pintu
masuk restoran.
*
Rio.
Sudah lewat sepuluh menit dari waktu yang ku janjikan semalam. Aku
mengambil ponsel ku yang tergeletak di atas meja, mengambil langkah, dan keluar
dari Starbucks. Sudah cukup lama aku menunggunya. Sudah tak bisa lagi aku duduk
menantinya di tempat ini. Ada yang harus ku lakukan selain menunggunya. Dengan
pakaian yang tak lagi rapi, aku menerobos padatnya sekeliling Tugu Kujang
melalui jembatan penyebrangan. Sungguh, keadaan di bawah jembatan ini begitu
memperlihatkan antusiasme masyarakat terhadap pergantian tahun baru kali ini.
Benar-benar membuat aku kelu, sampai-sampai terdiam di atas jembatan.
Aku segera menghapus lamunan ku. Sesegara
mungkin tiba di restoran cepat saji sebelum terlambat. Jangan sampai rencana ku
berantakan, batin ku.
Pintu kaca yang menjadi akses
keluar-masuk pengunjung, ku dorong dengan kuat sehingga aku bisa menapakkan
kaki di dalam. Pandangan ku menyapu seluruh sudut restoran. Mencari-cari sosok
yang ingin ku temui itu.
Wanita itu berada di salah satu
sudut restoran. Rambutnya yang bergelombang dengan highlight cokelat membuat wajah campuran Indonesia-Belanda-nya
semakin terlihat. Bahkan bibirnya yang berlapis lipstick merah itu. Membuat kulit putihnya kontras.
“Udah lama?” tanya ku sambil menarik
bangku yang berada di hadapannya.
Ia menggeleng,”Belum sih. Kamu dari
kantor ya?”
“Iya,” kata ku sambil menggigit
sebuah burger,”Aku pengin minum kopi. Gimana kalau kita ke Starbucks? Kita
ngopi sambil menghabiskan tahun baru bersama.”
“Boleh. Tapi di mana? Aku kan bukan
orang asli Bogor...”
“Ada di dalam mall itu,” kata ku
menunjuk pada sebuah bangunan besar di seberang restoran. Bangunan yang menjadi
pusat shopping dan tempat gaulnya
anak-anak kota hujan belakangan ini,”Kamu nggak perlu naik angkot. Cukup
nyebrang lewat jembatan penyebrangan.”
Ia mengangguk.
“Tapi aku ke kamar mandi dulu ya.
Kamu ke sana duluan, nggak apa-apa kan?”
“No problem. Aku bisa ke
sana sendiri.”
“Well, kamu memang yang
paling pengertian,” kata ku memainkan rambutnya yang menjadi messy tetapi tetap cantik,”Fried fries-nya dibawa aja,” saran ku
tanpa menunggu lagi masuk ke dalam kamar mandi tepat pada waktu yang telah ku
rencanakan. Dari balik tembok pembatas, aku menyaksikan wanita yang bersama ku
barusan, mengangkat plastik berisi fried
fries. Ia bangkit dari tempat duduknya untuk keluar dari restoran dua puluh
empat jam ini. Tetapi, langkahnya terhenti di salah satu meja yang ditempati
oleh seorang wanita ber-blazer hitam. Ia bercengkrama singkat. Penuh tawa,
terlihat begitu dekat dan tanpa beban. Lalu pergi.
Aku menghela nafas. Lega karena semuanya berjalan lancar. Untuk
beberapa menit aku tetap berada di balik tembok. Membiarkan sosok yang menunggu
ku sejak tadi itu, memesan makanan junk
food-nya dan pergi ke westafell
untuk mencuci tangan setelah pesanannya habis. Saat itulah aku keluar. Dan
ponsel ku berdering memperlihatkan namanya di layar.
“Sebentar lagi aku sampai.”
“Iya Raia. Sebentar lagi aku sampai. Kamu tunggu aja.”
Klik. Telephone ku
putus.
Aku memperlihatkan wujud ku dari
pintu masuk.
*
Raia.
Rambutnya tegak berdiri. Matanya
dibatasi oleh kaca mata minus tiga. Bajunya sudah tak lagi rapi. Kemejanya
kusut dengan lengan yang digulung hingga menyentuh siku. Di sakunya ada
gulungan dasi yang ujungnya nampak dari luar. Ia melangkah mendekat ke arah ku
dari arah pintu masuk. Senyumnya tetap seperti senyum yang ku lihat sebulan
yang lalu. Kemudian ia duduk dan meletakkan ponselnya.
Untuk
beberapa saat, aku diam. Begitu pun ia. Kami terlarut dalam suasana yang tidak
ku mengerti. Suasana yang membuat ku tiba-tiba enggan memulai pembicaraan
seperti biasanya.
“Udah
pesan?” tanyanya singkat.
“Don’t you see it? Aku sudah menghabiskan dua menu junk food ini?!”
“Oke
Raia, jangan marah-marah dulu dong. Aku terlambat datang karena ada sesuatu
yang harus ku kerjakan tadi. Sesuatu yang sangat urgent.”
Aku
menatapnya tajam. Mencoba mencari sebuah kebohongan di kedua bola matanya yang
selalu menyorotkan keteduhan. Ah...Rio selalu berhasil membuat ku percaya akan
perkataannya.
“Gimana
penerbangan pagi tadi? Semuanya lancar?” kali ini ia memasukkan kentang goreng
yang tersisa di mulutnya, sedangkan aku hanya menatapnya dengan suasana hati
yang mulai netral.
“Lancar.”
“Beberapa
menit lagi menuju tahun baru. Kita ke Tugu sekarang yuk!” Belum sempat
kentang-kentang goreng itu habis, ia menarik tangan ku yang langsung membuat ku
bangkit berdiri. Tangannya menarik ku untuk segera keluar dari restoran ini.
Bahkan sampai-sampai membuat ku terseret-seret di atas stiletto ini. Aku tidak paham apa yang akan ia lakukan malam ini.
Semua kelakukannya benar-benar tidak bisa diprediksi. Begitu penuh kejutan.
Ia membuat ku menaiki jembatan
penyebrangan kembali. Tapi tanpa berhenti melihat huru-hara perayaan lima belas
menit menjelang tahun baru. Kami berlari
kecil mengejar kembang api yang akan meletup indah sebentar lagi. Jangan sampai
pesta tahun baru ini terlambat untuk kami saksikan bersama. Aku dan dia.
Erat genggaman tangannya masih terasa
hangat. Kami berdiri berdampingan di seberang Tugu Kujang yang sangat ramai.
Semua orang berdiri menunggu aksi masyarakat di tengah kota menjelang
pergantian tahun. Masing-masing dari mereka sudah memegang terompet yang
bentuknya begitu unik dan menarik. Bukan hanya anak kecil tetapi juga orang
dewasa. Aku sudah tidak sabar melihatnya.
Benar kata orang, bahagia itu sederhana.
Seperti malam ini ketika semua orang menghitung mundur menuju berakhirnya
tahun. Lima...empat...tiga...dua...satu... Dan semuanya terompet berkumandang
menyambut hari yang baru. Semarak mengobarkan api semangat dalam diri setiap orang. Kembang api pun
diluncurkan. Menghias penuh warna langit kota Bogor sisa hujan tadi sore.
Merah, biru, kuning, hijau, perak, semuanya berkelebat di langit hitam. Tak ada
satu pun yang luput untuk disaksikan. Semua orang menengadahkan kepala,
menyaksikan indahnya langit Bogor di malam pergantian tahun.
“Raia,” tiba-tiba suara Rio membuat ku
mengalihkan pandangan dari langit kepadanya. Ia menyorotkan sinar itu lagi.
Yang tidak bisa ku temukan di mata orang lain. Yang tidak bisa ku rasakan di
tempat lain.
Gegap
gempita yang terjadi di sekeliling kami membuat suaranya nyaris tak terdengar.
Ia bahkan mengulang panggilannya lagi kepada ku,”Raia.”
“Hem...”
kata ku tanpa melihat wajahnya karena kembang api di langit semakin hebat. Kali
ini membentuk berbagai macam hiasan dan suara yang menakjubkan.
Ia
tak melanjutkan kata-katanya. Hanya genggaman tangannya yang terlepas perlahan.
“Ada apa?” aku merasakan ada sesuatu
yang ganjil pada dirinya. Merasakan batas tembok besar itu datang lagi di
antara kami berdua. Yang sontak membuat ku mengalihkan pandangan,”Kenapa?” Rio
diam. Ia menelan ludah, menatap lurus ke arah ku. Entahlah. Aku merasa ada yang
ia cari dari sorot mata ku. Tapi apa yang kekasih ku cari?
Ia tersenyum tipis,”Maafkan aku,”
katanya kemudian menundukkan kepala. Rio tidak menatap ku lagi.
“Minta maaf untuk apa?”
“Untuk segala sesuatu yang sudah
terjadi. Sesuatu yang...”
Aku sontak berubah menjadi khawatir.
Kedua telapak tangan ku dingin seperti seseorang yang sedang penuh ketakutan.
Aku tidak mengerti dengan perkataannya. Memangnya apa yang harus dimaafkan
tentang semua yang sudah terjadi?
“Hubungan kita tidak bisa dilanjutkan
lagi Raia...”
Dan detik itu, ada desir yang
menggoncang jiwa ku. Getir merasuk mendominasi batin begitu hebatnya.
Semua kembang api yang berada di langit
rasanya tiba-tiba berubah menjadi meteor yang akan jatuh di atas kepala dan
membuat pening bahkan jatuh pingsan. Suara terompet bahkan seperti suara
sangkakala yang memanggil-manggil manusia untuk mengakhiri hidupnya. Bahagia
itu memang sederhana, tetapi jauh lebih sederhana sebuah kesedihan. Begitu
kira-kira yang muncul di kepala ku.
Rio tidak memberikan penjelasan lebih
lanjut akna kata-katanya. Ia bahkan hanya menatap Tugu Kujang khas kota Bogor
dengan tatapan kosong. Kekasih ku ini benar-benar tidak bisa ditebak.
“Kenapa jadi begini?” kata-kata ku
terdengar menolak pernyataannya barusan,”Bukannya ajakan mu ke pusat kota malam
ini untuk merasakan tahun baru bersama-sama?!” Untuk beberapa saat aku mencoba
mengatur gemuruh yang berkecamuk di dalam hati ku. Sebisa mungkin ku kontrol
emosi ku agar tidak meletup-letup.
Baiklah aku siap, begitu kata ku dalam
hati. Kami berdiri berdampingan tetapi ada yang salah dengan berdampingan kami
malam ini. Ia memang masih berdiri di samping kanan ku, diam menerawang jauh
entah ke mana. Tapi aku pun begitu. Diam menerawang jauh ke mana lamunannya
pergi.
“Jadi
semunya benar-benar harus berakhir?” ku beranikan diri meluncurkan kelimat itu.
Keringat dingin ku mulai keluar. Ah.
Ia
menatap ku kembali. Menyorotkan sinar mata kesukaan ku. Hangat dan teduh. Aku
menunggu jawabannya. Berharap pikirannya akan berubah.
Tetapi
sayang, jawabannya tetap sama,“Iya...”
“Tapi
kenapa?” aku menantangnya untuk menjelaskan alasannya. Rio diam. Mungkin pusing
memikirkan alasan. Aku malah berdebar. Mendapati jantung ku berkontraksi
hebat,”Kenapa dengan manisnya kamu membuat janji seolah-olah malam ini akan
berakhir bahagia?”
“Aku
hanya kehilangan alasan untuk mencintai mu Raia...”
Apa?
Aku meracau dalam hati. Memaki-maki kekasih yang sudah bertahun-tahun bersama
ku menghabiskan banyak waktu bersama. Bisakah sebuah alasan mendasari sebuah
hubungan yang terjalin sejauh ini? Hingga ketika alasan itu pergi, cinta pun
ikut hilang bersamanya? Tidak kah itu egois?
Tidak
ada yang sampaikan pada Rio. Sepatah kata pun tidak. Aku hanya diam sambil
menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Aku tidak boleh
menangis. Tidak boleh!
“Maafkan
aku,” Rio mengucapkan kata-kata itu lagi. Kali ini genggam tangannya kembali
menyentuh jari-jemari ku dengan hangat. Menjalarkannya ke dalam tubuh
ku,”Maafkan aku.” Dan genggamnya kembali terlepas.
“Selamat
tahun baru Raia,” ia kembali berucap dengan nada suara yang datar. Aku tidak
sanggup melihatnya detik ini. Melihat sosok Rio yang bukan lagi menjadi kekasih
ku.
Aku
menelan ludah,”Selamat tahun baru juga. Terima kasih untuk ajakan bermalam
tahun baru di sini...”
Rio
sekali lagi menatap ku lekat-lekat. Dan ku elakkan sebelum ia melihat bagaimana
mata ku berkaca-kaca dan hampir tumpah. Aku tidak boleh memperlihatkan lemah
yang sedang mengguncang-guncang. Tidak boleh menunjukkan buruknya tahun baru
yang ku habiskan malam ini. Tanpa menunggu lama lagi, aku berbalik dan
mengambil langkah meninggalkan mantan kekasih ku. Berjalan gontai seperti
zombie tak berdaya.
“Raia!”
suara Rio memanggil dengan lantang. Aku menatapnya dari kejauhan. Ia memang
semakin sulit untuk ditebak. Juga dijangkau. Langkah ku kembali menapak, terus
berjalan menuju mobil yang terparkir di parkiran mall. Ingin segera masuk ke
dalam mobil, menyandarkan bahu, dan menutup mata akan kejadian malam ini.
“Kita
pulang sekarang Mbak?” supir ku yang sudah menjadi korban menghabiskan malam
tahun barunya hanya di parkiran mobil, bertanya dengan serius tepat saat aku
duduk di belakang tempat dudukya. Aku mengangguk. Dan ia melihat dari kaca
kecil.
Mobil
yang ku naiki melaju. Mengantri panjang untuk sekedar keluar dari parkiran mall
menuju jalanan Bogor karena keadaan masih padat. Aku harus rela berdiam di
dalam mobil untuk beberapa menit saat mobil ku berhenti tepat di depan kaca
besar Starbucks yang letaknya di bagian depan mall. Di tempat itu, aku
menghabiskan waktu untuk menunggunya. Menantinya hanya dengan segelas coffee late. Mengikuti maunya untuk
berpindah ke tempat lain.
“Mas Rio nggak pulang Mbak?” aku
terkejut mendengar pertanyaan supir ku,”Kenapa masih di kafe?”
Dan aku menatap pada salah satu pria
yang duduk bersama seseorang. Melihat kekasih ku-mantan kekasih ku terhitung
sejak sepuluh menit yang lalu sedang bercengkrama hangat dengan seorang wanita.
Ia terlihat tertawa lepas. Penuh kepuasan sambil sesekali meluangkan waktu
untuk meminum kopi di gelasnya. Rio bahkan dengan hangat memainkan rambut
panjang milik wanita itu yang tidak bisa ku lihat dari luar karena posisi
duduknya membelakangi kaca. Tapi tepat saat itu, ia menengok ke belakang dan
mendapati diri ku di dalam mobil. Senyum yang satu hari ini sering ku lihat, terpancar
lagi. Wajah campurannya, terlihat lagi. Wanita itu melambai lagi.
Memperlihatkan mulutnya yang membentuk nama ku dengan jelas, Raia. Aku mencoba
membalasnya. Menyunggingkan seulas senyum miris kepada Jeni. Dan melambai
pelan, lalu tertunduk ketika Rio yang duduk bersama Jeni, menjatuhkan
pandangannya pada ku dengan dingin.
Di selang waktu yang singkat, aku
menyaksikan segala sesuatu yang tak pernah ku duga terjadi. Di malam tahun baru
yang katanya selalu mendatangkan bahagia. Di antara bunyi terompet, letupan
kembang api, dan riuhnya ucapan selamat tahun baru dari berbagai lapisan
masyarakat kota Bogor, kota kelahiran ku.
Rasanya sedekat inilah pertemuaan dengan
perpisahan. Hanya sebatas satu mili, satu detik, tanpa spasi. Dan hanya sedekat
inilah cinta dan alasan. Hanya sebatas datang, kemudian pergi, tanpa bisa
bertahan.
Selamat tahun baru. Semoga ada sosok
yang tidak beralasan yang bisa mencintai ku.
Comments
Post a Comment