MALAM TAHUN BARU

Raia.
Suara klakson kendaraan terdengar memenuhi ruas jalan malam ini. Pun klakson mobil ku yang berulang-ulang dibunyikan oleh supir. Sejak keluar dari tol Jagorawi beberapa menit yang lalu, keadaan jalan begitu padat. Bahkan untuk sekedar berbelok ke kanan di depan patung rusa yang menyala-nyala pun, aku harus menghabiskan waktu sepuluh menit.
          “Bisa lebih cepat nggak Pak?” kata ku begitu jam digital di dalam mobil menunjukkan pukul sembilan lewat lima puluh lima menit.
            “Mana bisa Mbak. Jalanan penuh sekali.”
Iya juga, batin ku. Tidak mungkin keadaan macet total seperti ini bisa dilalui begitu saja. Dari balik kaca mobil, kilau lampu-lampu dari bagunan kota Bogor menyala terang benderang seperti bintang di langit yang gelap. Kota ini memang pantas disebut sebagai penyanggah Ibu Kota. Apa lagi melihat padatnya jalanan. Bogor bukan lagi kota sejuk nyaman layaknya bunga di tengah-tengah taman hijau seperti dulu. 
Aku menarik tas ku dan menggenggam iPhone yang sejak tadi berdering tiada henti. Di atas stiletto hitam, aku terus melangkah bahkan sebelum mobil terparkir di tempatnya. Ku biarkan supir ku mencari parkiran seorang diri. Yang terpenting, aku bisa tiba di Starbucks sebelum terlambat.
Dengan rambut hitam yang tergerai menutupi bahu, blazer hitam yang membalut tank top merah muda, aku mempercepat langkah ku. Berlari kecil meski banyak sisa air hujan yang tergenang di sekitar jalan menuju kafe dalam mall itu. Dan pintu kaca pun terbuka. Aku masuk mengambil arah ke kanan dan menatap ke sekeliling sudut Starbucks. Mencari sosok yang sejak tadi tak bosan-bosan menghubungi ku. Di mana dia? Di mana Rio?
Nomor telephone-nya ku hubungi kembali. Tetapi tidak diangkat. Sekali lagi ku hubungi, tetap tidak diangkat. Aku memutuskan untuk mengambil tempat duduk di sudut kafe. Memesan secangkir coffee late kesukaan ku,”Makasih Mas,” begitu kata yang keluar setelah pesanan ku tiba di atas meja dengan uap yang menggiyurkan rasa. Segera ku cecap kopi itu. Ku biarkan hangatnya menjalar di setiap likuk tubuh ku. Setidaknya, sedikit menghapus lelah bekas terburu-buru barusan.  Di samping ku, ada mereka yang duduk dengan cerita. Ada mereka yang melingkar membagi kisah dengan gelak tawa. Dan ada mereka yang melempar senyum sebagai tanda indahnya kehidupan yang mereka miliki hingga detik ini. Tapi aku, hanya bisa memerhatikan mereka diam-diam. Mencuri pandangan dari gelas kopi ku dalam tunggu.
           Aku menyeruput lagi kopi hangat yang ku pesan. Sebenarnya, sudah bukan kopi hangat lagi namanya tapi berganti menjadi kopi dingin, karena suhu hangatnya telah menguap. Rasanya nikmat. Pahit dan menggigit di lidah.
Kalau hanya membatasi pikiran pada kebahagiaan yang ku saksikan malam ini di kafe, rasanya hidup terlihat begitu sederhana. Simple tanpa kerumitan yang terkadang menyiksa. Tetapi nyatanya tidak sesederhana itu. Aku bahkan harus menghabiskan banyak waktu untuk kehidupan yang lebih baik, bahkan merelakan rasa takut ku setiap kali memulai pekerjaan. Aku adalah seorang pramugari dari salah satu penerbangan ternama di Indonesia. Bersamaan dengan itu, aku adalah seseorang yang takut akan ketinggian. Dan bisa dibayangkan, bagaimana awalnya aku melakukan pekerjaan ku di dalam pesawat ketika ketakutan itu merasuki tubuh dan merenggut kepercayaan diri ku. Ada perjuangan yang harus dilakukan. Karena memang begitu seharusnya hidup dijalani. Setidaknya, itu kata-kata yang ku ingat ketika kekasih ku mendukung penerbangan pertama ku tempo dulu.
Ah...aku sampai lupa menghubunginya lagi.
“Hallo,” kata ku begitu nada tunggu berhenti digantikan suara bass-nya yang terdengar berwibawa,”Aku udah sampai. Kamu di mana?”
“Iya, aku tunggu...”
Dan beginilah jadinya. Aku duduk bersama secangkir kopi yang hampir habis untuk menanti kedatangan kekasih ku yang sudah satu bulan tak ku temui. Maklum, jadwal penerbangan yang harus ku jalani begitu padat dari satu kota ke kota lain. Hingga tak ada waktu libur yang ku dapatkan selain malam tahun baru kali ini.
Sejujurnya, aku sangat lelah setelah menjadi cabin crew penerbangan dari Bali ke Jakarta pagi-pagi tadi. Ini karena banyak penumpang yang ingin di-service lebih dari biasanya. Apa lagi, keadaan cuaca buruk di akhir tahun membuat penumpang resah. Jadi aku harus menenangkan mereka sebisa mungkin hingga pesawat landing di Soekarno-Hatta. Kedua betis ku pun sangat pegal. Berdenyut saking lamanya aku berdiri di atas sepatu tinggi ini. Tapi tak apa. Demi bertemu dengan kekasih, harus ada pengorbanan yang dilakukan.
Keadaan di luar mall ini begitu ramai. Banyak orang lalu-lalang. Rupanya, satu setengah jam lagi menuju pergantian tahun. Itu artinya, aku sudah menunggu selama satu jam. Mengapa dia tak kunjung datang? Percis ketika aku bertanya-tanya seorang diri, ponsel ku berdering. Ia mengirimkan pesan singkat yang meminta ku untuk keluar dari Starbucks dalam mall besar di tengah kota Bogor ini dan segera mengambil tempat di restoran cepat saji yang berada di seberang mall. Aku mengikuti maunya. Menaiki jembatan penyebrangan dan berhenti untuk sekejap menyaksikan bagaimana sekeliling Tugu Kujang mulai dipadati oleh orang-orang pembawa terompet dan kembang api. Beberapa baru tiba bersama rombongan motornya yang dihias menarik. Ada juga yang sepanjang jalan meniupkan terompetnya dengan nyaring. Begitu ramai membangkitkan semangat memasuki tahun yang baru. Aku kembali melangkah. Masuk ke dalam restoran dua puluh empat jam itu dan duduk memerhatikan sekitar. Ternyata, tidak kalah bahagianya dengan orang-orang di Starbucks. Semua manusia rupanya sedang begitu bahagia menyambut tahun baru. Hanya aku kah mahluk yang kehilangan semangat malam ini?
Lima belas menit, ia tak juga datang. Aku semakin bingung dengan janjinya. Sedikit merasa ragu bahwa ia akan datang malam ini. Bahkan ketika nomornya tak aktif lagi saat ku hubungi.
“Raia!” tiba-tiba seseorang melambai dari arah pintu masuk. Wanita itu tersenyum menghampiri ku dengan fried fries di dalam plastik,”Baru aja ketemu di pesawat tadi pagi, sekarang kita ketemu lagi di Bogor.”
“Iya ya Jen?!” aku sendiri tidak percaya dengan kebetulan ini,”Mau rayain tahun baru di Bogor?”
“Iya. Kebetulan, ada janji di sini.  Jadi sekalian aja, malam ini lihat kembang api kota Bogor hehehe... Kamu cuma sendiri?”
“Enggak. Aku lagi nunggu seseorang.”
“Oh gitu. Ya udah, aku keluar dulu ya Raia. Bye!”
Aku mengangguk-angguk sebagai tanda iya atas ucapan Jeni-teman SMA ku itu. Ia tak lama berada bersama ku. Hanya untuk sekedar menyapa, basa-basi, kemudian pergi. Ia keluar dari restoran ini. Dan aku kembali sendiri.
            Kekasih ku tak kunjung datang. Aku bosan menunggunya. Lelah bergelayut di pundak. Bahkan makanan junk food ini sudah habis untuk yang kedua kalinya. Kalau saja bukan Rio yang sedang ku nanti, aku pasti sudah meninggalkan tempat ini sejak tadi. Lebih baik pulang dari pada menghabiskan waktu untuk sesuatu yang tidak jelas keberadaannya. Kapan Rio akan datang memenuhi janjinya? Bukan kah ia yang berjanji mengajak ku untuk menghabiskan malam tahun baru bersama di Bogor? Ke mana perginya dia?
            “Kamu di mana?” tanya ku sekali lagi to the point.
            “Aku udah setengah jam di sini. Kamu sebenarnya di mana sih?”
            Klik. Telephone diputus dari seberang.
            Aku melihat kekasih ku itu di pintu masuk restoran.
*
Rio.
Sudah lewat sepuluh menit dari waktu yang ku janjikan semalam. Aku mengambil ponsel ku yang tergeletak di atas meja, mengambil langkah, dan keluar dari Starbucks. Sudah cukup lama aku menunggunya. Sudah tak bisa lagi aku duduk menantinya di tempat ini. Ada yang harus ku lakukan selain menunggunya. Dengan pakaian yang tak lagi rapi, aku menerobos padatnya sekeliling Tugu Kujang melalui jembatan penyebrangan. Sungguh, keadaan di bawah jembatan ini begitu memperlihatkan antusiasme masyarakat terhadap pergantian tahun baru kali ini. Benar-benar membuat aku kelu, sampai-sampai terdiam di atas jembatan.
            Aku segera menghapus lamunan ku. Sesegara mungkin tiba di restoran cepat saji sebelum terlambat. Jangan sampai rencana ku berantakan, batin ku.
            Pintu kaca yang menjadi akses keluar-masuk pengunjung, ku dorong dengan kuat sehingga aku bisa menapakkan kaki di dalam. Pandangan ku menyapu seluruh sudut restoran. Mencari-cari sosok yang ingin ku temui itu.
            Wanita itu berada di salah satu sudut restoran. Rambutnya yang bergelombang dengan highlight cokelat membuat wajah campuran Indonesia-Belanda-nya semakin terlihat. Bahkan bibirnya yang berlapis lipstick merah itu. Membuat kulit putihnya kontras.
            “Udah lama?” tanya ku sambil menarik bangku yang berada di hadapannya.
            Ia menggeleng,”Belum sih. Kamu dari kantor ya?”
       “Iya,” kata ku sambil menggigit sebuah burger,”Aku pengin minum kopi. Gimana kalau kita ke Starbucks? Kita ngopi sambil menghabiskan tahun baru bersama.”      
            “Boleh. Tapi di mana? Aku kan bukan orang asli Bogor...”
        “Ada di dalam mall itu,” kata ku menunjuk pada sebuah bangunan besar di seberang restoran. Bangunan yang menjadi pusat shopping dan tempat gaulnya anak-anak kota hujan belakangan ini,”Kamu nggak perlu naik angkot. Cukup nyebrang lewat jembatan penyebrangan.”
Ia mengangguk. 
            “Tapi aku ke kamar mandi dulu ya. Kamu ke sana duluan, nggak apa-apa kan?”
No problem. Aku bisa ke sana sendiri.”
Well, kamu memang yang paling pengertian,” kata ku memainkan rambutnya yang menjadi messy tetapi tetap cantik,”Fried fries-nya dibawa aja,” saran ku tanpa menunggu lagi masuk ke dalam kamar mandi tepat pada waktu yang telah ku rencanakan. Dari balik tembok pembatas, aku menyaksikan wanita yang bersama ku barusan, mengangkat plastik berisi fried fries. Ia bangkit dari tempat duduknya untuk keluar dari restoran dua puluh empat jam ini. Tetapi, langkahnya terhenti di salah satu meja yang ditempati oleh seorang wanita ber-blazer hitam. Ia bercengkrama singkat. Penuh tawa, terlihat begitu dekat dan tanpa beban. Lalu pergi.
Aku menghela nafas. Lega karena semuanya berjalan lancar. Untuk beberapa menit aku tetap berada di balik tembok. Membiarkan sosok yang menunggu ku sejak tadi itu, memesan makanan junk food-nya dan pergi ke westafell untuk mencuci tangan setelah pesanannya habis. Saat itulah aku keluar. Dan ponsel ku berdering memperlihatkan namanya di layar.
“Sebentar lagi aku sampai.”
“Iya Raia. Sebentar lagi aku sampai. Kamu tunggu aja.”
Klik. Telephone ku putus.
            Aku memperlihatkan wujud ku dari pintu masuk.
*
            Raia.
Rambutnya tegak berdiri. Matanya dibatasi oleh kaca mata minus tiga. Bajunya sudah tak lagi rapi. Kemejanya kusut dengan lengan yang digulung hingga menyentuh siku. Di sakunya ada gulungan dasi yang ujungnya nampak dari luar. Ia melangkah mendekat ke arah ku dari arah pintu masuk. Senyumnya tetap seperti senyum yang ku lihat sebulan yang lalu. Kemudian ia duduk dan meletakkan ponselnya.
            Untuk beberapa saat, aku diam. Begitu pun ia. Kami terlarut dalam suasana yang tidak ku mengerti. Suasana yang membuat ku tiba-tiba enggan memulai pembicaraan seperti biasanya.
            “Udah pesan?” tanyanya singkat.
            Don’t you see it? Aku sudah menghabiskan dua menu junk food ini?!”
            “Oke Raia, jangan marah-marah dulu dong. Aku terlambat datang karena ada sesuatu yang harus ku kerjakan tadi. Sesuatu yang sangat urgent.”
            Aku menatapnya tajam. Mencoba mencari sebuah kebohongan di kedua bola matanya yang selalu menyorotkan keteduhan. Ah...Rio selalu berhasil membuat ku percaya akan perkataannya.
            “Gimana penerbangan pagi tadi? Semuanya lancar?” kali ini ia memasukkan kentang goreng yang tersisa di mulutnya, sedangkan aku hanya menatapnya dengan suasana hati yang mulai netral.
            “Lancar.”
            “Beberapa menit lagi menuju tahun baru. Kita ke Tugu sekarang yuk!” Belum sempat kentang-kentang goreng itu habis, ia menarik tangan ku yang langsung membuat ku bangkit berdiri. Tangannya menarik ku untuk segera keluar dari restoran ini. Bahkan sampai-sampai membuat ku terseret-seret di atas stiletto ini. Aku tidak paham apa yang akan ia lakukan malam ini. Semua kelakukannya benar-benar tidak bisa diprediksi. Begitu penuh kejutan.
Ia membuat ku menaiki jembatan penyebrangan kembali. Tapi tanpa berhenti melihat huru-hara perayaan lima belas menit  menjelang tahun baru. Kami berlari kecil mengejar kembang api yang akan meletup indah sebentar lagi. Jangan sampai pesta tahun baru ini terlambat untuk kami saksikan bersama. Aku dan dia.
Erat genggaman tangannya masih terasa hangat. Kami berdiri berdampingan di seberang Tugu Kujang yang sangat ramai. Semua orang berdiri menunggu aksi masyarakat di tengah kota menjelang pergantian tahun. Masing-masing dari mereka sudah memegang terompet yang bentuknya begitu unik dan menarik. Bukan hanya anak kecil tetapi juga orang dewasa. Aku sudah tidak sabar melihatnya.
Benar kata orang, bahagia itu sederhana. Seperti malam ini ketika semua orang menghitung mundur menuju berakhirnya tahun. Lima...empat...tiga...dua...satu... Dan semuanya terompet berkumandang menyambut hari yang baru. Semarak mengobarkan api semangat  dalam diri setiap orang. Kembang api pun diluncurkan. Menghias penuh warna langit kota Bogor sisa hujan tadi sore. Merah, biru, kuning, hijau, perak, semuanya berkelebat di langit hitam. Tak ada satu pun yang luput untuk disaksikan. Semua orang menengadahkan kepala, menyaksikan indahnya langit Bogor di malam pergantian tahun.
“Raia,” tiba-tiba suara Rio membuat ku mengalihkan pandangan dari langit kepadanya. Ia menyorotkan sinar itu lagi. Yang tidak bisa ku temukan di mata orang lain. Yang tidak bisa ku rasakan di tempat lain.
            Gegap gempita yang terjadi di sekeliling kami membuat suaranya nyaris tak terdengar. Ia bahkan mengulang panggilannya lagi kepada ku,”Raia.”
            “Hem...” kata ku tanpa melihat wajahnya karena kembang api di langit semakin hebat. Kali ini membentuk berbagai macam hiasan dan suara yang menakjubkan.
            Ia tak melanjutkan kata-katanya. Hanya genggaman tangannya yang terlepas perlahan.
“Ada apa?” aku merasakan ada sesuatu yang ganjil pada dirinya. Merasakan batas tembok besar itu datang lagi di antara kami berdua. Yang sontak membuat ku mengalihkan pandangan,”Kenapa?” Rio diam. Ia menelan ludah, menatap lurus ke arah ku. Entahlah. Aku merasa ada yang ia cari dari sorot mata ku. Tapi apa yang kekasih ku cari?
Ia tersenyum tipis,”Maafkan aku,” katanya kemudian menundukkan kepala. Rio tidak menatap ku lagi.
“Minta maaf untuk apa?”
“Untuk segala sesuatu yang sudah terjadi. Sesuatu yang...”
Aku sontak berubah menjadi khawatir. Kedua telapak tangan ku dingin seperti seseorang yang sedang penuh ketakutan. Aku tidak mengerti dengan perkataannya. Memangnya apa yang harus dimaafkan tentang semua yang sudah terjadi?
“Hubungan kita tidak bisa dilanjutkan lagi Raia...”
Dan detik itu, ada desir yang menggoncang jiwa ku. Getir merasuk mendominasi batin begitu hebatnya.
Semua kembang api yang berada di langit rasanya tiba-tiba berubah menjadi meteor yang akan jatuh di atas kepala dan membuat pening bahkan jatuh pingsan. Suara terompet bahkan seperti suara sangkakala yang memanggil-manggil manusia untuk mengakhiri hidupnya. Bahagia itu memang sederhana, tetapi jauh lebih sederhana sebuah kesedihan. Begitu kira-kira yang muncul di kepala ku.
Rio tidak memberikan penjelasan lebih lanjut akna kata-katanya. Ia bahkan hanya menatap Tugu Kujang khas kota Bogor dengan tatapan kosong. Kekasih ku ini benar-benar tidak bisa ditebak.
“Kenapa jadi begini?” kata-kata ku terdengar menolak pernyataannya barusan,”Bukannya ajakan mu ke pusat kota malam ini untuk merasakan tahun baru bersama-sama?!” Untuk beberapa saat aku mencoba mengatur gemuruh yang berkecamuk di dalam hati ku. Sebisa mungkin ku kontrol emosi ku agar tidak meletup-letup.
Baiklah aku siap, begitu kata ku dalam hati. Kami berdiri berdampingan tetapi ada yang salah dengan berdampingan kami malam ini. Ia memang masih berdiri di samping kanan ku, diam menerawang jauh entah ke mana. Tapi aku pun begitu. Diam menerawang jauh ke mana lamunannya pergi.
            “Jadi semunya benar-benar harus berakhir?” ku beranikan diri meluncurkan kelimat itu. Keringat dingin ku mulai keluar. Ah.
            Ia menatap ku kembali. Menyorotkan sinar mata kesukaan ku. Hangat dan teduh. Aku menunggu jawabannya. Berharap pikirannya akan berubah.
            Tetapi sayang, jawabannya tetap sama,“Iya...” 
            “Tapi kenapa?” aku menantangnya untuk menjelaskan alasannya. Rio diam. Mungkin pusing memikirkan alasan. Aku malah berdebar. Mendapati jantung ku berkontraksi hebat,”Kenapa dengan manisnya kamu membuat janji seolah-olah malam ini akan berakhir bahagia?”
            “Aku hanya kehilangan alasan untuk mencintai mu Raia...”
            Apa? Aku meracau dalam hati. Memaki-maki kekasih yang sudah bertahun-tahun bersama ku menghabiskan banyak waktu bersama. Bisakah sebuah alasan mendasari sebuah hubungan yang terjalin sejauh ini? Hingga ketika alasan itu pergi, cinta pun ikut hilang bersamanya? Tidak kah itu egois?
            Tidak ada yang sampaikan pada Rio. Sepatah kata pun tidak. Aku hanya diam sambil menahan air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata. Aku tidak boleh menangis. Tidak boleh!
            “Maafkan aku,” Rio mengucapkan kata-kata itu lagi. Kali ini genggam tangannya kembali menyentuh jari-jemari ku dengan hangat. Menjalarkannya ke dalam tubuh ku,”Maafkan aku.” Dan genggamnya kembali terlepas.
            “Selamat tahun baru Raia,” ia kembali berucap dengan nada suara yang datar. Aku tidak sanggup melihatnya detik ini. Melihat sosok Rio yang bukan lagi menjadi kekasih ku.
            Aku menelan ludah,”Selamat tahun baru juga. Terima kasih untuk ajakan bermalam tahun baru di sini...”
            Rio sekali lagi menatap ku lekat-lekat. Dan ku elakkan sebelum ia melihat bagaimana mata ku berkaca-kaca dan hampir tumpah. Aku tidak boleh memperlihatkan lemah yang sedang mengguncang-guncang. Tidak boleh menunjukkan buruknya tahun baru yang ku habiskan malam ini. Tanpa menunggu lama lagi, aku berbalik dan mengambil langkah meninggalkan mantan kekasih ku. Berjalan gontai seperti zombie tak berdaya.
            “Raia!” suara Rio memanggil dengan lantang. Aku menatapnya dari kejauhan. Ia memang semakin sulit untuk ditebak. Juga dijangkau. Langkah ku kembali menapak, terus berjalan menuju mobil yang terparkir di parkiran mall. Ingin segera masuk ke dalam mobil, menyandarkan bahu, dan menutup mata akan kejadian malam ini.
            “Kita pulang sekarang Mbak?” supir ku yang sudah menjadi korban menghabiskan malam tahun barunya hanya di parkiran mobil, bertanya dengan serius tepat saat aku duduk di belakang tempat dudukya. Aku mengangguk. Dan ia melihat dari kaca kecil.
            Mobil yang ku naiki melaju. Mengantri panjang untuk sekedar keluar dari parkiran mall menuju jalanan Bogor karena keadaan masih padat. Aku harus rela berdiam di dalam mobil untuk beberapa menit saat mobil ku berhenti tepat di depan kaca besar Starbucks yang letaknya di bagian depan mall. Di tempat itu, aku menghabiskan waktu untuk menunggunya. Menantinya hanya dengan segelas coffee late. Mengikuti maunya untuk berpindah ke tempat lain.
“Mas Rio nggak pulang Mbak?” aku terkejut mendengar pertanyaan supir ku,”Kenapa masih di kafe?”
Dan aku menatap pada salah satu pria yang duduk bersama seseorang. Melihat kekasih ku-mantan kekasih ku terhitung sejak sepuluh menit yang lalu sedang bercengkrama hangat dengan seorang wanita. Ia terlihat tertawa lepas. Penuh kepuasan sambil sesekali meluangkan waktu untuk meminum kopi di gelasnya. Rio bahkan dengan hangat memainkan rambut panjang milik wanita itu yang tidak bisa ku lihat dari luar karena posisi duduknya membelakangi kaca. Tapi tepat saat itu, ia menengok ke belakang dan mendapati diri ku di dalam mobil. Senyum yang satu hari ini sering ku lihat, terpancar lagi. Wajah campurannya, terlihat lagi. Wanita itu melambai lagi. Memperlihatkan mulutnya yang membentuk nama ku dengan jelas, Raia. Aku mencoba membalasnya. Menyunggingkan seulas senyum miris kepada Jeni. Dan melambai pelan, lalu tertunduk ketika Rio yang duduk bersama Jeni, menjatuhkan pandangannya pada ku dengan dingin.
Di selang waktu yang singkat, aku menyaksikan segala sesuatu yang tak pernah ku duga terjadi. Di malam tahun baru yang katanya selalu mendatangkan bahagia. Di antara bunyi terompet, letupan kembang api, dan riuhnya ucapan selamat tahun baru dari berbagai lapisan masyarakat kota Bogor, kota kelahiran ku.
Rasanya sedekat inilah pertemuaan dengan perpisahan. Hanya sebatas satu mili, satu detik, tanpa spasi. Dan hanya sedekat inilah cinta dan alasan. Hanya sebatas datang, kemudian pergi, tanpa bisa bertahan.
Selamat tahun baru. Semoga ada sosok yang tidak beralasan yang bisa mencintai ku.
   

Comments

Popular Posts